Apakah jadi Mahasiswa Perlu Baca Buku dan Bisa Nulis?

Apakah jadi mahasiswa perlu baca buku dan bisa nulis

Oleh: Akhmad Gunawan Wibisono

Saya punya satu naskah yang udah jadi namun entah kapan harus diterbitkan, ini persoalan mahasiswa yang kupikir, makin ke sini makin mleyot mentalnya. 

Tanya seorang mahasiswa, "apakah jadi mahasiswa perlu baca buku dan bisa nulis?"

Jawabku, "tidak, sudah ada YouTube short, Tik-Tok, Reels IG dan podcast untuk nyari pengetahuan. Untuk nulis, AI bisa diandalkan tuh."

Kupikir, pertanyaan semacam itu baiknya gak perlu ditanyakan. Nanyain itu sama aja kayak calon tentara yang bertanya, "eh aku perlu workout gak sih?" Sebab siapapun udah tahu kalau masuk militer ya perlu banyak-banyak latihan fisik. Itu udah kayak asupan sehari-hari guna menjaga fisiknya. Tentara tugasnya jelas mereka berhadapan ama tugas-tugas yang  memerlukan kekuatan fisik. Kebutuhan survival, menertibkan demo, bahkan perang, kalau fisiknya, mana bisa garang di lapangan?

Ini persis kayak mahasiswa. Kamu ngampus itu kan belajar ya? Nah, sumber belajar adalah buku; inputnya. Sedang menulis adalah outputnya. Kalau kamu paham hal "sederhana" ini aja, maka semestinya membaca dan menulis bukan jadi hal yang mengerikan, apalagi dijauhi bener-bener. Aneh rasanya kalau nemu mahasiswa baru lihat buku tebel lalu bilang, "aduh, aku gak kuat baca ini. Buku berat, otakku ga nyampe, blablabla." Lah wong itu asupanmu belajar. Asupan orang belajar ya menempa otak, mengisi pikiran ama ilmu pengetahuan. Sama kayak tentara tadi yang harus genjot fisik biar gagah di lapangan. Sedang mahasiswa, kalau otaknya kosong mau ngapain coba? Nari balet?

Ini yang menyebabkan kenapa banyak mahasiswa yang sekadar sambutan, jadi moderator aja gak mampu. Problemnya masih sama: otaknya kosong!

Sering saya katakan, otak kosong berbeda ama perut kosong. Kalau perut kosong bisa bunyi, otak kosong apa pernah memberimu alarm bahwa dirinya perlu diisi? Gak pernah loh.

Untuk mengisi otak yang kosong itu berat. Analoginya sama kayak militer, para tentara harus workout sehari sekian jam sampai fisiknya oke. Dan itu sakit. Bayangin dulu, porsi push up 200x, sit up 100x, jogging 10 KM. Belum kena mental ama bentakan jendral, berat banget. Tapi kalau fisiknya udah oke, kamu pernah lihat tentara yang Show Off kekuatan fisiknya di video-video? Sangar kan?

Ini juga berlaku kayak mahasiswa, kalau mahasiswa otaknya kosong, apa yang mau dibanggain? Ikut lomba gak berani, baca buku enggan, nulis gak bisa. Apa kamu pikir lulus dengan "nol kompetensi" itu membanggakan? Apa bedanya ama pejabat kemarin yang ketahuan plagiasi itu? Aneh.

Kayak gini masih inyah-inyih. Waktunya belajar yang dipikirkan bukan bukunya dulu, sudah mengasah skill apanya dulu, udah bisa presentasi apa belum, ternyata bukan ini. Sebaliknya, pikirannya cetek ama hal-hal: wah temenku hp-nya ipong promexxx, wah temenku udah punya pacar dan gue masih jomblo, wah motor temenku Aerox mbeerrr

Oleh ngguyu ta lek? 😆

Makanya toh, dikasih kesempatan bisa masuk perguruan tinggi itu previlese loh. Tapi jangan senang dulu, previlese itu juga perlu ditunjang ama bukti. Mahasiswa, itu ranahnya akademisi, kajiannya ya ilmu pengetahuan, bagaimana skill yang kamu miliki bisa bermanfaat untuk lingkungan sekitar. Sekarang coba tanya ke dirimu sendiri, sudah nyicil mengasah skill sampai mana? Sudah baca buku apa aja? Kalau pertanyaan itu jawabannya masih nihil. Hmm, jujur bro.. kasihan ama orangtuamu di rumah.

Jadi kesimpulannya mahasiswa perlu baca buku dan bisa nulis gak sih?

"Nggak!"

Y gpp 😇

Ah, saya lanjut dikit lagi.

"Bagi mahasiswa, apa gunanya baca dan nulis?"

Ini malah lucu lagi. 😂

Membaca buku itu dalam rangka menghapus kebodohan. Kebodohan itu penyakit kronis. Kamu tahu rasanya gimana punya kesempatan ngomong di depan tapi mulutmu terkunci karena gak ngerti mau ngomong apa? Ya itu rasanya: bingung, resah, grogi, malu semua jadi satu.
Gini, membaca itu proses menggosok daki-daki ketololan dari otakmu, biar nggak mengendap (Jawa: dedhel). Otak perlu inspirasi dengan asupan ilmu pengetahuan. Nah ini, pengetahuan ini untuk menstimulus dirimu biar peka dan kreatif ama keadaan. Membaca akan membentuk dirimu jadi orang yang kreatif dan fleksibel.

Ilmu pengetahuan yang kamu baca dari buku itu kayak alat-alat; palu, cangkul, pisau, gunting, dan sebagainya. Ini yang akan membuatmu kreatif ketika menemui persoalan. Oh waktunya bertani maka harus pakai cangkul, waktunya ngiris bumbu maka harus pakai pisau, oh waktunya motong kabel pakai gunting. Kalau kamu nonton Doraemon, itulah gambaran ideal bagi orang yang suka baca buku. Untuk menghadapi persoalan apa saja alatnya ready. Kalau gak punya alat? Bisa ditebak sendiri, baru kena tugas matkul aja udah sok piling mindiriti. Padahal kalau jujur, itu bukti bahwa kamu minim kreatifitas; minim kecakapan untuk eksekusi. Ya kan?

Nulis?

Lebih penting lagi...

Skripsi tulisan, makalah tulisan, jurnal tulisan, book review tulisan, resume tulisan. Semua produk akademik dasarnya muncul dari tulisan. Kalau mahasiswa gak bisa nulis? Apa produk yang hendak ditampilkan, wong ga punya produk?

Ini menjadi persoalan serius dan bikin klenger dosen pembimbing. Mahasiswanya gak punya basic untuk nulis, gramatikanya ancur, belum ke tata bahasa dan pemilihan diksi, ini perlu latihan yang gak sebentar.

Sayangnya, kehadiran AI jadi kambing hitam. AI teknologi yang membantu manusia untuk memudahkan nyari informasi. "Nyari" justru dipahami sebagai, "ah dia bisa menggantikan tugasku." Ya wajar saja kalau sampai hari ini mahasiswa makin payah. AI gak dimanfaatkan sebagai sumber belajar, tapi udah kayak joki dan babu gratis yang bisa diperintah seenaknya. Padahal si mahasiswa gak sadar justru makin lama mental belajarnya makin remuk. Dampak jauhnya: diskusi enggan, baca buku gamau, ama konten keilmuan gak familiar sama sekali.

Ha ngopo jane koe iki?

Selamat datang, Indonesia 2045.🇮🇩

ORDER VIA CHAT

Product : Apakah jadi Mahasiswa Perlu Baca Buku dan Bisa Nulis?

Price :

https://www.baitulkilmah.com/2024/11/apakah-jadi-mahasiswa-perlu-baca-buku.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Discussion