Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Agama, Kesenian, dan Kebudayaan
Oleh : @ulil_ulalaaa
Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia yang diakui secara universal. Namun, penerapannya sering kali diperdebatkan dalam konteks agama, kesenian, dan kebudayaan. Ketiga bidang ini memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk batasan, nilai, dan persepsi masyarakat terhadap ekspresi individu maupun kolektif.
Kebebasan yang Terbatas oleh Etika dan Moral
Apa yang telah diekspresikan Tamarra dalam pertunjukan tersebut telah menggambarkan rujukan dalam menentukan batas-batas kebebasan berekspresi. Dalam pertujukkan tersebut juga tersampaikan makna kebebasan berekspresi.
Kebebasan menampilkan kesenian oleh Tamarra dapat dihormati, namun tetap harus disertai tanggung jawab moral. Dalam konteks ini, ekspresi Tamarra yang tidak merendahkan nilai agama atau menghina kepercayaan orang lain dianggap wajar dan tidak melampaui batas kebebasan yang diperbolehkan.
Ruang untuk Kebebasan Ekspresi yang Inovatif
Dalam kesenian, kebebasan berekspresi sering kali menjadi motor penggerak inovasi dan kreativitas. Seni, baik dalam bentuk tradisional maupun kontemporer, apa yang ditampilkan oleh Tamarra memberikan ruang bagi individu untuk menyampaikan ide, kritik, dan aspirasi. Contohnya, seni rupa dan pertunjukan sering kali digunakan untuk mengkritik kebijakan atau fenomena sosial.
Namun, ekspresi seni Tamarra juga kerap dianggap berbenturan dengan norma agama dan budaya. Masih banyak yang menganggap Tamarra melampaui batas karena dianggap menghina simbol agama atau norma sosial tertentu. Meskipun demikian, seni Tamarra tetap menjadi medium penting untuk mendorong dialog dan refleksi kritis dalam masyarakat.
Kebebasan dalam Kerangka Keberagaman
Kebudayaan sebagai sistem nilai yang hidup dalam masyarakat memiliki peran penting dalam menentukan batas-batas kebebasan berekspresi. Dalam masyarakat Indonesia yang plural, kebebasan berekspresi sering kali harus beradaptasi dengan keragaman budaya dan tradisi lokal.
Tamarra menunjukkan bagaimana ekspresi seni dapat menjadi sarana kritik sosial tanpa melanggar norma budaya kesenian. Namun, dalam pandangan lain muncul tantangan baru ketika Tamarra bertemu dengan nilai-nilai global yang lebih liberal tapi bisa dikatakan jumud oleh penulis. Yakni ketika setiap orang masih menilai kebebasan berkesenian tanpa mempunyai keterikatan dengan dunia seni. Hal ini memunculkan perdebatan tentang bagaimana menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan pelestarian nilai-nilai budaya.
Baca Juga: Orang Alim dan Kepriwe Tho Koe
Pada akhirnya, kebebasan berekspresi merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia, namun tidak dapat dipahami secara mutlak. Dalam perspektif agama, kesenian, dan kebudayaan, kebebasan ini selalu diimbangi dengan tanggung jawab moral dan penghormatan terhadap nilai-nilai sosial. Untuk mencapai harmoni, diperlukan dialog yang terbuka dan inklusif antara berbagai elemen masyarakat. Dengan demikian, kebebasan berekspresi dapat menjadi sarana untuk memperkaya kehidupan bersama tanpa mengorbankan integritas nilai-nilai fundamental.
Sumber :
John L. Esposito, What Everyone Needs to Know about Islam, Oxford University Press, 2011.
George Dickie, Art and the Aesthetic: An Institutional Analysis, Cornell University Press, 1974.
Artikel “The Role of Art in Social Change” di Journal of Cultural Studies, 2020.
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, Basic Books, 1973.
Artikel "Cultural Identity and Globalization" di Journal of Modern Cultural Studies, 2019.
Discussion